Pada suatu hari
seorang wanita aktivis anti tembakau sowan ke ndalem Kiai. Bermaksud meminta
fatwa tentang bahaya rokok.
“Iya,rokok memang
berbahaya. Saya setuju sekali sama sampeyan, Mbak,” kata Kiai mantap. Wajah aktivis
LSM anti tembakau yang bertamu siang itu pun langsung berbinar.
“Begini...” lanjut
beliau.
“Merokok itu nggak
bisa dilakukan sambil terburu-buru. Anda bisa makan, minum, mandi, bepergian,
bahkan bekerja dengan cepat dan tergesa. Tapi tidak untuk merokok. Merokok mesti
dilakukan seperti... hmmm... gerakan-gerakan shalat. Harus tuma’ninah
istilahnya, Mbak. “
“Sedot, tenang,
pengendapan sesaat... baru nyebul. Isep lagi, tenang dan pengendapan lagi...sebul
lagi. Begitu terus-menerus.”
Lanjut sang kyai “Lihat,
ngudud sama sekali bukan aktivitas
yang cocok untuk orang yang gegabah dan grusa-grusu (terburu-buru.red)…”
“Lho, maaf, katanya
bahaya, yai? Kok malah nggak bahas bahayanya?” Si aktivis tampak tidak sabar.
“Sebentar..,” sambil
tersenyum bijak sang Kiai memberi kode tangan, agar si aktivis diam dulu, dan lanjutnya,
“Untuk menghabiskan
satu batang rokok, rata-rata dibutuhkan 20-25 kali hisapan. Kalau seorang
perokok ngudud 10 batang saja setiap
hari, artinya minimal ada 200-250 kali saat jeda tuma’ninah per harinya. Dua
ratus kali setiap hari, Mbak! Nah... bayangkan saja jika ia menempuh hidup
seperti itu belasan atau bahkan puluhan tahun. Apakah sampeyan yakin yang
demikian itu tidak turut membentuk bangunan bawah sadar dan karakter
pribadinya?”
“Bahayanya, Kiai !
Pliss, bahayanya…” Sela sang aktivis.
“Jadi, ya nggak usah
gampang heran kalau banyak pemikir muncul dari kalangan perokok. Sebab perokok itu
bukan semacam speedboat yang melesat cepat di permukaan, melainkan lebih dekat
dengan sifat kapal selam. Ia bergerak pelan namun pasti di kedalaman.
Makhluk-makhluk kapal selam itu terbiasa tenang, jernih mencermati setiap hal,
sekaligus punya daya imajinasi tinggi. Maka kita tahu ada Einstein, misalnya.
Pastilah ia menemukan Teori Relativitas, serta teori bahwa semesta berbentuk
melengkung, saat ia leyeh-leyeh sambil kebal-kebul dengan pipa cangklongnya. Ada
juga Sartre, Albert Camus, Derrida, Sigmund Freud, yang semuanya menempa ngelmu
tuma’ninah-nya lewat asap tembakau. Contoh lain? Ada Sukarno, Che Guevara,
Winston Churcill, hingga John F. Kennedy. Atau para sastrawan-pemikir, mulai
Rudyard Kipling, Hemingway, Mark Twain, Pablo Neruda, Chairil Anwar, Pramoedya
Ananta Toer, yang kesemuanya mereka pun menjalani metode yang sama. Jadi bisa
kita simpulkan bahwa...”
“Stop ! Stop !
Please, Kiai. Please ! I said : ba-ha-ya ! Please explain the ba-ha-ya!!!”
Potong si Aktivis.
“Hehe, iya-iya,
Mbak... Maaf, saya tegaskan bahwa rokok memang berbahaya.”Kiai menghela nafas
sesaat. “Sebab... yang paling berbahaya dari seorang manusia bukanlah paru-paru
atau jantungnya, melainkan pikiran-pikirannya.”
Ngudud ( bahasa Jawa artinya merokok )

Tidak ada komentar:
Posting Komentar